بسم الله الرحمن الرحيم
DAKWAH SALAFIYAH SEBAGAI SOLUSI, JANGAN KAU NODAI !!! (EDISI II)
(TANGGAPAN ATAS TULISAN SAUDARA ABU AIMAN AL-JAWI)
Diantara misi dan visi Dakwah Salafiyah yang mubarakah adalah tashfiyah dan tarbiyah. Tashfiyah
adalah memurnikan Islam dari kotoran (syirik, bid’ah, khurafat,
pemikiran-pemikiran sesat/nyeleneh) yang menempel ke dalamnya. Adapun tarbiyah
adalah mendidik kaum muslimin di atas ajaran Islam yang putih bersih
malamnya seperti siangnya (Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman
salafush shaleh)[1]. Dan ini hanyalah meneruskan tongkat estafet dakwah Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم. Allah berfirman :
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ
رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ
لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum
yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka
kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS.Al-Jumu’ah : 2)
Dan hal ini juga meneruskan jejak para ulama, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasul صلى الله عليه وسلم :
يَحْمِلُ هَذَا العِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ
عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ
الُمبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الجَاهِلِيْنَ
Ilmu agama ini akan senantiasa dibawa
oleh para ulama yang adil, (tugas) mereka meniadakan/mengingkari tahrif
(penyelewengan) orang yang ekstrim, jalannya orang-orang yang batil
(menyimpang) dan takwilnya orang-orang yang jahil. (HR.Baihaqi)[2]
Dan diantara bentuk tashfiyah yang
dilakukan oleh Dakwah Salafiyah adalah menjelaskan serta menjauhkan
umat dari noda-noda dan kotoran politik yang berseberangan dengan
kesucian Islam dan As-Sunnah.
Setelah penulis
menerbitkan makalah yang berkaitan dengan nasehat untuk Salafiyyin agar
tidak masuk kubangan politik, muncul tanggapan dari salah satu saudara
kita yang masih studi di Madinah –jazahullahu khairan-.
Kemudian penulis pun memberikan tanggapan atasnya serta meluruskan
persepsinya yang salah dan lain-lain. Namun sangat disayangkan beberapa
hari setelah makalah kedua itu beredar, muncul tulisan baru yang agak
kesiangan yang ditulis oleh saudara kita Abu Aiman Al-Jawi (AAA)[3] di Gema Islami yang telah dikoreksi oleh Ustadz Yusuf Utsman Baisa, Lc dan Ali Saman Hasan, Lc, MA.
Kenapa kita katakan kesiangan, karena banyak syubhat/kerancuan dalam
tulisan AAA yang sebetulnya sudah kita jawab dalam tulisan kedua
tersebut. Ya husnudzan saja, mungkin tulisan yang kedua belum
sampai kepadanya. Oleh karena itu, penulis akan mengetengahkan lagi
jawaban tersebut semoga bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin
khususnya Salafiyyin. Dan penulis menyarankan agar Saudara AAA beserta
editornya juga membaca tulisan kedua kami.
1- Penulis menyarankan agar AAA
betul-betul memisahkan antara kesepakatan ulama bahwa sistem pemilu
berasas demokrasi bukanlah sebuah sistem yang syar’i[4], dengan masalah ikhtilaf ijtihadi
antara mereka dalam ikut memberikan suara dalam pemilu. Jangan
seolah-olah membuat opini bahwa masalah ikut dalam pemilu juga sebagai
kesepakatan ulama[5].
2- Saudara AAA mengatakan : “Di Indonesia, khususnya bagi kalangan Salafiyyin, berpolitik masih menjadi hal yang tabu, padahal politik adalah salah satu bagian dari sendi kehidupan yang tentu saja tidak mungkin diabaikan oleh Allah dan Rasul-Nya! Bahkan panutan dan suri tauladan kita, para sahabat رضي الله عنهم adalah orang-orang yang piawai dalam perpolitikan…..”.
Apakah saudara ingin menyamakan politik sahabat dahulu dengan politik di negeri kita sekarang ini ?![6] Kalau saudara menjawab ya, maka kami hanya bisa mengatakan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Dan seandainya betul-betul sama (keadaan dan hakikatnya), kami akan masuk ke dalamnya dan menyeru manusia kepadanya insya Allah. Namun jika jawabannya tidak, maka kami akan mengikrarkan -hingga akhir hayat nanti insya Allah- sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu : “Termasuk politik kami (sekarang) adalah meninggalkan politik (yang tidak syar’i)”.
Dan penulis masih ingat betul wasiat Syaikh Abdul Malik Ramadhani –hafizhahullahu-
ketika sang penulis makalah ini mau meninggalkan kota Madinah setelah
selesai studinya di Diploma Dakwah sekitar 10 tahun yang lalu
(detik-detik terakhir di kota Madinah dan di kampus Universitas Islam
Madinah). Selesai shalat shubuh di masjid kampus yang dekat dengan
perumahan Syaikh Abdul Malik Ramadhani dan beliau sering shalat disana
waktu itu, penulis langsung meminta wasiat perpisahan kepada beliau di
depan masjid tersebut. Diantara wasiat beliau adalah “لا تتدخل في السياسة” Jangan engkau ikut politik.
Jadi ya benar, kalau hal itu dianggap tabu oleh Salafiyyin sebagaimana
kebatilan dan kesesatan dianggap tabu. Namun apakah saudara AAA sudah
terbiasa dengan perpolitikan di negeri kita ini ???!!! Atau menganggap
boleh dan wajib ikut nimbrung ke dalamnya ???!!!
3- Dan adapun kesimpulan saudara AAA bahwa “Tulisan Ust.
Abdurrahman Thoyib, Lc (UAT) dan Forum Asatidzah Lombok (FAL) sama-sama
diawali dengan prolog yang mengesankan bahwa membahas urusan politik
adalah sebuah keburukan secara mutlak”. Maka ini adalah kesimpulan yang
salah besar yang mungkin muncul dari ketidakjelian atau ketidaktelitian
dalam memahami tulisan. Tidak ada Salafi yang menolak pembahasan politik
secara mutlak hingga menolak juga siyasah syar’iyah (politik syar’i).
Yang kita ingkari adalah politik yang kotor dan tidak syar’i dan yang
berlebih-lebihan dalam menyikapi pemilu 2014 ini. Dan itu yang telah
dikatakan oleh penulis dalam makalah yang pertama catatan kaki no.1 (Tulisan
ini tidak membahas apa yang diistilahkan oleh sebagian ikhwah dengan
masalah ikhtilaf ijtihadi antara para ulama yang membolehkan atau tidak
membolehkan ikut dalam pemberian suara ketika pemilu. Namun masalahnya
sekarang lebih dari itu semua, melampaui batas, melewati garis dan telah
masuk ke dalam tanah larangan (kubangan politik). Dakwah Salafiyah dan
kita pun berlepas diri darinya). Apakah anda tidak paham ?! Jangan
seperti orang awam atau ahli bid’ah yang mengatakan Wahabi/Salafi tidak
mau shalawatan gara-gara kita mengingkari shalawat nariyah. Atau
seperti kelompok teroris yang menuduh kita menihilkan jihad karena kita
menolak dan mengingkari jihadnya mereka yang tidak syar’i (terorisme).Syaikh Abdul Malik Ramadhani – حفظه الله- berkata : “Aku tidak perlu untuk menjelaskan bahwa politik termasuk bagian dari agama, karena sesungguhnya aku yakin bahwa tidaklah level kalian yang setinggi ini menjadikankalian menuduh penulis bahwa dia memisahkan antara agama dan negara[7]……..Dan tidaklah menyingkirkan syariat melainkan jahiliyah yang dimurkai (Allah) :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin ? (QS.Al-Maidah : 50).Ketahuilah, bahwa sebab kegagalan kelompok pergerakan Islam pada saat ini dalam memperbaiki kerusakan yang universal adalah kesalahan mereka dalam metode perbaikan. Yaitu ketika mereka masuk dalam kubangan politik dan menjadikannya sebagai pondasi reformasi. Meskipun mereka mengaku di atas manhaj yang benar dan dakwah yang komplit serta manajemen yang profesional……Adapun masuk ke dalam kancah politik pada saat ini maka tidaklah yang melakukannya melainkan orang-orang yang telah terjebak dalam jaring-jaring setan untuk membinasakannya dalam puncak kejelekan. Setan pun membujuknya dengan rayuan bahwa tidak boleh meninggalkan parlemen untuk orang-orang fasik dan sekuler. Dan bahwasanya tidak boleh bagi seorang muslim untuk tidak bersuara….Dan bahwasanya undang-undang Yahudi itu hampir diterapkan di negeri ini dan itu seandainya tidak ada menteri ini dan itu…..dan masih banyak lagi propaganda-propaganda yang tidak dibangun di atas pandangan syar’i, sebagaimana juga tidak dibangun di atas pandangan fakta di lapangan. Orang yang jujur dalam renungan dan penelitiannya di lapangan akan mendapati sekelompok orang yang masuk ke dalam (kubangan politik) dengan tujuan untuk merubah, namun justru mereka yang terubah[8].
Maka sungguh benar sabda Nabi – صلى الله عليه وسلم- : “Barangsiapa yang mendatangi pintu pemimpin maka dia akan terfitnah”. (HSR.Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Baihaqi).
Dan dalil tentang larangan duduk bergabung dengan mereka dalam parlemen (kubangan politik) adalah firman Allah :
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ
أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ
بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ
إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
Dan sungguh Allah telah menurunkan
kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar
ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang
kafir), Maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka
memasuki pembicaraan yang lain. karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat
demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. (QS.An-Nisa : 140).[9]
Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman[10] - حفظه الله- berkata : “Kami
mengingkari kalau politik sekarang ini ada agama di dalamnya ! Akan
tetapi kami tidak mengingkari bahwa dalam agama ada politik. Politik yang satu ini (Politik Syar’i) ada tujuan dan mashlahat yang diperhitungkan. Dan
kami melarang anak-anak yang masih ingusan dan yang masih dalam tahapan
belajar untuk (lancang) menetapkan atau mengira-ngirakannya (ikut
berpolitik)[11]. Dan kami katakan kepada mereka (kebanyakan adalah para pemuda yang berapi-api) dan mereka melangkahi para pakar ulama. Sesungguhnya tidak selayaknya bagi kalian untuk masuk ke dalam kancah politik, karena kalian belum menguasainya. Dan dilarang bagi kalian untuk bersuara politik…..Dan kita mengatakan : Sesungguhnya
jalan kalian untuk meraih kemuliaan ilmu tidak mungkin bisa
bergandengan dengan kotoran politik…..Dan kalian akan dikuasai oleh
perangai yang buruk dan politik ini akan menjerumuskan kalian ke dalam
sarang penyamun.……Yang wajib secara syariat bagi para ulama terutama di zaman ini adalah menghidupkan ajaran Allah lewat tashfiyah dan tarbiyah
serta menfokuskan diri untuk menjalankan misi dan visi yang mulia ini.
Tidak layak bagi mereka untuk masuk ke dalam kubangan politik dari dekat
maupun dari jauh. Meskipun mereka adalah orang yang paling
paham tentang apa yang menimpa negeri mereka dari topan perselisihan.
Jangan sampai tragedi besar mengeluarkan ulama dari kewibawaan mereka
dan mengoncang kemuliaan mereka serta jangan sampai fitnah tersebut
mengiring mereka ke dalam jurang yang tidak ada seorang pun yang selamat
dan tidak ada manfaatnya lagi pengobatan.[12]
4- Saudara AAA mengulangi lagi
kesimpulannya yang salah dengan mengatakan terhadap penulis “beliau
mengeneralisir seluruh aktifitas/obrolan terkait pemilu adalah sebuah
bentuk masuk dalam kubangan politik ! Tentu saja ini tidak benar dan
bahkan sebuah kekeliruan….”. Coba saudara AAA renungkan kembali apa yang
dikatakan oleh penulis dengan penuh ketelitian dan kejelian agar tidak
membuat kesimpulan yang salah !!! Yang kita permasalahkan hanyalah
keekstriman sebagian ikhwah, sebagai contohnya (namun sayang saudara AAA
tidak menyinggungnya) fatwa sebagian ikhwah yang membolehkan salafy
masuk parlemen dan membuat partai. Apakah anda setuju salafy masuk
parlemen sekarang ini atau sekalian membuat partai ???!!! Kalau ya,
kenapa anda tidak mengomentari/menyalahkan petuah Syaikh Ali Al-Halabi
dan para ulama yang telah penulis ketengahkan panjang lebar yang mencela
perpolitikan (masuk parlemen dan partai). Apakah mereka juga
mengeneralisir seluruh aktifitas/obrolan terkait pemilu adalah sebuah
bentuk masuk dalam kubangan politik ???!!! Dan jika jawabannya tidak,
mengapa anda diam dari fatwa tersebut. Atau kalau anda tidak bisa
menjawab, tolong tanyakan Syaikh Ali bin Hasan yang akan datang ke
Indonesia atas undangan organisasi ustadz antum.
5- Saudara AAA mengatakan “Perihal
mereka (sebagian Salafiyyin) menjadikan isu ini sebagai salah satu bahan
obrolan mereka sehari-hari, tentu saja sebuah hal yang wajar, karena
saat ini kita sedang menghadapi “musim”nya”.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,
inilah yang penulis merasa prihatin. Apakah menjadikan isu politik
sebagai obrolan sehari-hari itu juga difatwakan oleh para ulama atau
ijtihad kalian ???!!! Coba tanyakan dan paparkan kepada Syaikh Ali bin
Hasan secara detail (bukan hanya secara global) perbuatan anda atau
ustadz anda yang sibuk dengan kampanye terutama di Face book atau media
lainnya sekarang ini.
6- Lebih parah dari itu, saudara AAA
ingin menqiyaskan suasana politik yang memanas dan kotor dengan bulan
suci Ramadhan yang menyejukkan. Dia berkata : “Bukankah ketika bulan
Ramadhan tiba serentak kaum muslimin membicarakan tentang fikih
Ramadhan? Maka demikian pula hal ini, karena kita sedang menghadapi
“musim” pemilu, maka membicarakan tentang pemilu adalah hal yang
wajar….”. Na’udzu billahi min hadza al-kalaam. Apakah bulan
ibadah yang suci sama dengan bulan pemilu yang keji ???!!! Insya Allah
anak kecil bisa membedakannya. Apakah pembahasan fiqih Ramadhan sama
dengan isu politik ???!!! Ya inilah yang kita khawatirkan, tanpa terasa
dan mungkin tanpa perasaan sudah masuk ke dalam jeratan isu politik. Nas-alullah As-Salaamah wal ‘Afiyah.
Berapa banyak orang yang terkena penyakit namun dia tidak sadar kalau sakit !!!
7- Saudara AAA menuduh kita belum
menjelaskan bahkan menuduh kita belum mengetahui bagaimana cara berbuat
agar mewujudkan pemimpin yang baik dalam situasi saat ini”. Apakah ulama
yang berpendapat tidak bolehnya ikut serta dalam pencoblosan berarti
tidak ada usaha lahiriah ?! Alangkah sempitnya pandanganmu ini ?!
Rasulullah صلى الله عليه وسلم ketika di Mekah ditawari oleh Utbah bin
Rabi’ah kepemimpinan, namun beliau tidak mau menerimanya. Apakah tidak
ada usaha lain selain itu?! Syaikh Muqbil bin Hadi رحمه اللهyang tidak
ikut pemilu, apakah beliau tidak ada usaha untuk Islam dan kaum muslimin
?! Apakah menyebarnya dakwah yang haq di negeri Yaman (yang sama sistem
pemerintahannya dengan kita) lewat politik atau lewat dakwah beliau ba’dallahi ‘azza wa jalla ?! Tidakkah engkau ingat petuah Syaikh Ali (point 5)?! Apakah itu tidak cukup bagimu?! Kenapa tidak engkau tanggapi ?!
8- Mungkin karena saudara AAA sudah terbiasa dengan hawa politik maka kata-katanya pun seperti politikus, isuk dhele sore tempe alias mencla mencle (plin-plan). Dia berkata “Ust.Abdurrahman Thayib, Lc yang memberikan sebuah nasehat yang baik….seluruh nasehat tersebut baik” namun pada akhir tulisannya saudara AAA mengatakan “Sungguh nasehat FAL dan UAT bukanlah nasehat yang dapat menghilangkan dahaga dan bukan pula nasehat yang memberikan solusi nyata, meski kami banyak mendapat manfaat dan pelajaran darinya”. Wallahu Al-Musta’aan
9- Berkaitan dengan komentar saudara AAA kepada asaatidz Lombok –saddadallahu khuthaahum-
sebetulnya tidak jauh berbeda dari komentarnya terhadap penulis yang
salah kaprah. Namun untuk perinciannya, mungkin para asaatidz tersebut
bisa mengutarakan bantahan dan tanggapan mereka tersendiri.
10- Mungkin bagi editor tulisan saudara AAA untuk lebih cermat dan teliti dalam mengoreksi.
Demikian sedikit yang bisa penulis sampaikan, semoga bermanfaat bagi
semua. Dan Semoga Allah memberikan kepada penulis dan saudara AAA serta
para ustadznya pemahaman yang benar.Surabaya, 14 Sya’ban 1435 H / 12 Juni 2014 M
Abu Nafisah Abdurrahman Thayib
No comments:
Post a Comment